Menakar Kepekaan Etis Para Pemimpin

13 Sep
Karikatur-Gedung-DPRD

Menakar Kepakaan Etis Para Pemimpin; Mana Kepekaanmu?

AKHIR-AKHIR ini, sepertinya negeri ini hanya mendapat surplus keburukan yang membabi-buta. Ini bukan bentuk pesimisme, tapi satu bentuk “penyadaran”, bahwa ada banyak hal yang perlu diwaspadai oleh penghuni negeri ini ke depan. Dari kecenderungan gaya dan pola hidup permisif, acuh tak acuh, minus empati, krisis moralitas sehingga pola hidup hedonistis.

Celakanya, berbagai perilaku dan pola hidup semacam itu tidak sekadar mengidap rakyat biasa yang bisa jadi dari segi ekonomi masih “standar”, tapi juga mengidap para penyelenggara negara; baik di lingkungan eksekutif, legislatif bahkan di yudikatif. Semuanya terjadi di berbagai level, dari daerah ingga pusat.

Bayangkan saja, sebagaimana yang disinggung oleh Radhar Panca Dahana (2014), DPRD di hampir seluruh propinsi dan daerah/kota di Indonesia belum mengembalikan mobil dinas. Alasanya bermacam-macam, tentu saja nyaris tak tersentuh hukum. Lebih jauh lagi, mereka tentu saja tidak bakalan tersentuh hukuman berdimensi moralitas. Sebab mereka lebih jago untuk membela diri.

Kepekaan Etis_nPada saat yang sama, mereka begitu sibuk “berharap” dan “gasak-gusuk” untuk mendapatkan mobil dinas baru dan berbagai perlengkapan lain yang sejatinya tak begitu mendesak. Bukan saja legislatif, tapi juga eksekutifnya.

Tidak itu saja, celakanya lagi, perilaku dan pola hidup di atas tidak diimbangi dengan kepatutan kinerja. Bahkan berbagai peraturan daerah yang seharusnya segera diselesaikan malah “diganjal” atas nama kepentingan rakyat dengan logika diri dan kelompoknya sendiri. Semuanya berpamer “jabatan” atas nama rakyat tapi jauh dari kepentingan dan pembelaan terhadap rakyat.

Tak saja di tingkat daerah, di tingkat pusat (nasional) pun nyaris beriringan. Program legislatif nasional yang direncanakan sebelumnya nyaris jauh dari harapan publik. Publik tentu tak perlu tahu pasti berapa jumlah produk Undang-undang yang diselesaikan, terutama di tahun 2014 menjelang akhir periode ini. Sebab berbagai media internal Dewan dan media massa lainnya pun sudah merilis secara terbuka tentang semuanya. Begitu juga di level yudikatifnya, hampir semuanya tertimpa penyakit rakus dan serakah.

Pertanyaannya, masih adakah kepekaan etis dalam diri bangsa ini, terutama para penyelanggara negara yang konon di saat pensiun hingga mati pun tetap mendapat anggaran juga tunjangan dari negara? Masih adakah jiwa perjuangan dan kepahlawanan dalam jiwa mereka, sehingga timbul rasa malu dan tahu diri?

Krisis Kepekaan Etis

Kita tentu tidak perlu menagih banyak kepekaan etis kepada rakyat-publik, sebab dalam teorinya, rakyat itu bagaimana perilaku pemimpinnya. Lebih jauh, justru para pemimpinlah yang semestinya meningkatkan saldo kepekaan di saat kondisi bangsa yang terus menghadapi berbagai persoalan yang serba rumit dan pelik ini.

Jika publik menghadirkan kritik, pihak-pihak tertuduh, mereka (para pemimpin) itu biasanya sibuk membela diri dengan bersandar pada argumen legal-formal. Dengan dalih seperti itu, terpancar hilangnya kesadaran bahwa pejabat publik adalah representasi rakyat yang harus memiliki kepekaan etis terhadap suasana kehidupan dan kebatinan rakyat. Kepekaan etis senantiasa menempatkan keadilan di atas hukum dan nalar jabatan struktural. Dalam rasa keadilan, pejabat negara dalam perilaku dan gaya hidupnya harus menenggang simpul terlemah dari jutaan rakyat kecil yang terempas dan terputus.

Sederhananya, sang pejabat publik merasa tidak pantas dan tidak mau menerima berbagai kelengkapan yang serba “wah” dari negara manakala masih ada seorang warga di bumi pertiwi ini yang miskin atau yatim piatu dan layak mendapatkan bantuan. Sang pejabat akan muncul rasa iba, empati dan kasih sayang dalam dirinya di saat puluhan juta rakyat masih terkategori “layak dibantu”.

Rakyat mungkin tak mau bahkan malu menyampaikan langsung, tapi nurani para pejabat semestinya mampu mendengar dan melihat itu semua. Sebab sang pejabat sadar bahwa “menjabat” adalah mengartikulasikan rasa sekaligus kehendak rakyat. Dengan begitu, ia merasa aman dan nyaman manakala rakyatnya tak didera berbagai permasalahan sosial, ekonomi, pendidikan dan keterbelakangan. Kesenangan bagi pejabat (pemimpin) adalah manakala rakyatnya nyaman, makmur dan sejahtera.

Butuh Radar Kepekaan

Berbagai perilaku dan pola hidup yang saya sebutkan di atas akan tersisikan manakala kita—terutama para pemimpin (pejabat) itu—memiliki tonggak sekaligus radar. Tonggak atau radar tersebut nantinya diharapkan mampu menghadirkan kepekaan etis para pemimpin dalam kehidupannya, terutama di ruang publik.

Pertama, nilai-nilai keimanan. Dalam konteks ini, sang pejabat akan terus merasa bahwa jabatan yang diiembannya adalah amanah rakyat dan (terutama) Sang Kuasa yang kelak pasti dimintai pertanggungjawaban di dunia juga di akhirat.

Artinya, apapun bentuk pelanggaran terhadap amanahnya tidak bakalan lolos dari awasan dan pertanggungjawaban. Mengamalkan nilai-nilai keimanan bermakna merasa selalu diawasi, dikuasai dan dievaluasi di setiap waktunya. Sehingga tak sedikitpun peluang untuk khianat dengan amanah yang diemban.

Kedua, suara nurani. Dalam konteks ini sang pejabat selalu bertanya dalam dirinya tentang apa dan bagaimana jabatan yang ia dapatkan. Apakah sudah dimanfaatkan sesuai standar prosedur yang dapat dipertanggungjawabkan? Apakah tugas-tugasnya selama ini mampu menghadirkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat banyak? Apakah jabatannya mampu dimanfaatkan untuk kepentingan sebagaimana mestinya, atau malah “digadai” demi kepentingan pribadi, keluarga atau kelompoknya semata yang bersifat sesaat?

Dalam konteks teknis, cobalah bertanya, “apakah saya layak mendapat mobil dinas yang begitu mahal, sementara saya belum mampu melakukan yang terbaik bagi rakyat banyak dan negeri ini; bahkan saya cenderung khianat dalam menjalankan amanah rakyat dan negara?”, dan berbagai pertanyaan lain yang kira-kira mampu “menyadarkan” diri agar mampu menjalankan amanah dengan baik.

Kata kuncinya adalah mendengar kata nurani (hati). Dalam Islam bahkan diingatkan, perbanyaklah mendengar kata hati, sebab hati sejatinya tak pernah bohong. Ia selalu memberikan garisan putih nan suci bagi siapapun yang hendak mendengar suaranya secara jujur dan tulus. Ia adalah penerang jalan yang membuat pemiliknya selalu melangkah ke depan, ke jalan yang lurus.

Ketiga, mengingat mati. Pada dasarnya penyebab utama manusia melakukan berbagai kekeliruan sebagaimana yang saya singgung di awal adalah karena lupa dengan kematian. Manusia kerap lupa bahwa kehidupan di dunia ini sejatinya stasiun singgah (sementara) menuju stasiun (akhirat) di ujung perjalanan. Selama di atas rel (dunia) inilah tempat menyiapkan semua bekal perjalanan. Lupa atau bahkan salah menyediakan bekal berarti menabung bekal untuk kenestapaan abadi.

Sederhana saja, cobalah sesering mungkin bertanya dalam diri, “apakah dengan perilaku dan pola hidup yang jauh dari nilai-nilai luhur sebagaimana yang digariskan Sang Kuasa saya mampu sampai ke tempat tujuan akhir?”, “andaikan Allah menghadirkan kematian di saat saya terjerat berbagai perilaku dan pola hidup yang penuh intrik syahwat duniawi, apakah saya menemukan kebahagiaan sejati di akhirat kelak?”; dan seterusnya.

Terutama bagi para pejabat publik, semakin banyak mengingat kematian, maka akan semakin sedikit peluang untuk ingkar terhadap amanah rakyat. Mengingat kematian akan menambah saldo kesungguhan dan kesetiaan untuk melakukan yang terbaik bagi kepentingan rakyat dan negeri tercinta. Itulah yang membuat jabatan bukan sekadar “beban” tapi juga “bank” pahala bagi kebahagiaan dunia juga akhirat.

Dalam panggung politik, klaim etis sering dipakai para elite untuk memojokkan publik yang kerap mengkritik. Pada saat yang sama, mereka tidak memiliki kemampuan untuk merefleksi dan menginsafi berbagai kelalaian etisnya sebagai pejabat negara, misalnya. Padahal, kritik adalah suara etis; satu senandung cinta nan tulus yang selalu mengingatkan dan menyadarkan “kekuasaan” agar tidak lupa diri.

Akhirnya, sungguh bijak pernyataan Bung Yudi Latif ketika mengatakan, “Politik adalah dimensi manusia secara keseluruhan dalam menciptakan kemaslahatan bersama. Maka dari itu, etika menjadi bagian esensial di dalamnya. Rusak etika, rusak politik”. Jadi, miliki dan jagalah kepekaan diri, karena jabatan dan kehidupan ini pada intinya ada pada kemampuan tiap diri untuk menjaga kepekaan dirinya dalam ruang publik secara etis. Itulah makna lain etika dalam kehidupan publik. Semoga tercerahkan! [Oleh: Syamsudin Kadir—Direktur KOMUNITAS-“Komunitas Cirebon Membaca, Cirebon Menulis”, Direktur Eksekutif Mitra Pemuda, Ketua Pemuda Mabar-“Penulis Muda Manggarai Barat”, Penulis Buku NGOPI: Ngobrol Politik dan Demokrasi Indonesia. Tulisan ini dielaborasi dari tulisan aslinya yang berjudul “Menakar Kepekaan Etis Para Pemimpin”, dimuat di Kolom Wacana Radar Cirebon hal. 4, Jum’at 12 September 2014].

Tinggalkan komentar